SEKILAS INFO
: - Kamis, 26-12-2024
  • 4 Tahun Yang Lalu / Terdapat Beberapa Tampilan Style Untuk Web Sekolahku Keren.
PERSOALAN NIKAH MISYĀR(STUDI KRITIS TERHADAP PENDAPAT ULAMA KONTEMPORER)

Zulfikar Ar¹, Iin Nurjanah²

MAN 4 Bireuen

MTsN 2 Pelalawan

E-mail: zulfikar.pase@gmail.com

iinnurjannah88@gmail.com

ABSTRAK

Nikah misyār adalah sebuah bentuk pernikahan dimana seorang wanita memberikan kebebasan hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami, baik kewajiban memberi nafkah lahir, tempat tinggal, maupun hak gilir bermalam. Hal ini justru menimbulkan persoalan baru dikalangan ulama kontemporer terkait hukum nya. Pertanyaan penelitian adalah: bagaimana persoalan nikah misyar dan bagaimana pendapat ulama kontemporer terhadap nikah misyār. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dan termasuk dalam kajian normatif dan proses pengumpulan data menggunakan metode kepustakaan (library research) kemudian dianalisis dengan pendekatan deskriptif analisis. Hasil yang ditemukan bahwa nikah misyār telah memuculkan persoalan dikalangan ulama kontemporer terkait kebasahan hukum. Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai nikah misyār, Yusuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhaili membolehkan dan jika dilaksanakan nikah tersebut hukumnya sah, karena telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Syekh Nashiruddin Albani dan sebagian ulama kontemporer yang mendukungnya, berpendapat bahwa nikah misyār haram, bahkan jika dilaksanakan batal hukumnya. Menurut mereka nikah misyār tidak mewujudkan tujuan pernikahan yang dinginkan oleh syara’ dengan menciptakan keluarga yang sakinah. Syekh Utsaimin memilih jalan tengah, dengan cara ber-tawaqquf (Abstain). Karena belum ditemukan nash yang tegas dan kuat maka belum bisa diberikan kepastian hukum yang konkrit.

Kata Kunci : Misyār, Ulama, Kontemporer.

ABSTRACT

Misyar marriage is a form of marriage in which a woman gives freedom of rights that must be fulfilled by a husband, both the obligation to provide birth, housing, and the right to rotate the night. This in fact raises new problems among contemporary scholars related to its law. The research questions are: how is the problem of misyar marriage and what are the opinions of contemporary scholars on misyar marriage.This research is classified as a qualitative research and is included in the normative study and the process of collecting data using library research is then analyzed with a descriptive analysis approach. The results found that misyār marriages have raised problems among contemporary scholars regarding the legal validity of it. Contemporary scholars have different opinions regarding misyār marriages, if they are grouped into three opinions. First, Yusuf al-Qardhawi and Wahbah al-Zuhaili allow and if the marriage is carried out the law is valid, because the conditions and pillars have been fulfilled, done with mutual liking, called dowry, the presence of a guardian and two fair witnesses. Second, Syekh Nashiruddin Albani and some contemporary scholars who support it, argue that misyār marriage is haram, even if it is carried out it is invalid. According to them, misyar marriage does not realize the purpose of marriage as desired by syara’ by creating a sakinah family. This marriage is more synonymous with the fulfillment of sexual desire alone. Third, Sheikh Utsaimin chose the middle way, by means of tawaqquf (abstain). He said that outwardly the misyār marriage was valid, because the pillars and conditions were fulfilled, but because they had not found a firm and strong text, concrete legal certainty could not be given. This difference of opinion among them is caused by several things, including differences in the manhaj, different perspectives on the legal validity of marriage, and differences in determining the conditions for the validity and annulment of a marriage.

Keywords: Misyār, Ulama, Contemporary.

  1. PENDAHULUAN

Dalam masalah perkawinan Islam telah menyingung banyak hal terkait dengannya, Mulai dari bagaimana cara mencari pendamping hidup, peminangan,[1] sampai bagaimana memperlakukanya ketika sudah resmi menjadi pendamping hidup. Islam benar-benar menuntun dan memperhatikan itu semua sehingga jika seseorang ingin melangsungkan perkawinan rujukan utama yang harus diperhatikan adalah Islam. Karena dengan karakteristik[2] yang dimiliki oleh hukum Islam, para fuqaha[3] (ahli ilmu fikih) berkompeten dan mampu menjawab segala permasalahan dan problematika seputar pernikahan dengan luwes sesuai zaman dan masa.

Pernikahan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita untuk mentaati perintah Allah dan siapa yang melaksanakannya adalah merupakan ibadah, serta untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah.[4] Dalam kompilsi hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau Mitsyaqan Qhalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[5] Definisi tersebut sesuai dengan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[6]

Pernikahan bukan hanya sekedar prosesi ijab kabul semata, dan bukan juga sebatas menyegerakan kata sah oleh pihak saksi nikah. Tetapi sesuai dengan definisi diatas, jika akad nikah telah dilangsungkan dan memenuhi syarat serta rukun nya[7], maka perbuatan tersebut akan menimbulkan akibat hukum hubungan suami istri antar keduanya. Dengan demikian, akad tersebut menimbulkan hak serta kewajiban di antara keduanya.[8] Karenanya baik suami mapun istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Seorang suami berkewajiban untuk membayar mahar,[9] nafkah, dan sebagainya, disamping juga punya hak untuk mendapatkan pelayanan dari istri. Begitu juga sebaliknya, seorang istri mempunyai kewajiban untuk melayani suami di samping juga punya hak untuk mendapatkan tempat tinggal, pakaian, nafkah, dan sebagainya.[10]

Namun tidak demikian dalam praktik nikah misyār. Yusuf Qardhawi mendefinisikan Nikah Misyār dengan: “Yang dimaksud dengan nikah misyār adalah apabila seorang suami pergi kerumah istri dan istri tersebut tidak pindah kerumah suaminya. Dan biasanya, istri ini merupakan istri kedua dan suami telah memiliki istri lain yang tinggal dirumahnya dan ia nafkahi.”

Dari definisi yang telah disebutkan diatas menidentifikasikan bahwa nikah model ini masuk dalam kategori poligami. Adapun kriteria nikah misyār tidak ada nafkah, tempat tinggal dan sebagainya, yang ada hanyalah kepuasan seksual semata. Artinya, seorang suami tidak di tuntut untuk membayar mas kawin, nafkah, pakaian dan sebagainya. Melainkan dia hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis si isteri dan mereka tidak tinggal dalam satu rumah.[11] Dengan kata lain seorang suami tidak berkewajiban memberikan nafkah lahir terhadap istrinya. Terkait hal ini penulis menjadikan satu kajian dan penelitian yang diangkat dengan judul “Persoalan Nikah Misyār (Studi Kritis Terhadapa Pendapat Ulama Kontemporer”.

  •  Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Penelitian deskriptif merupakan suatu model dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Dengan tujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual atau akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.[12] Analisis dipakai agar penulis dapat menyusun penelitian ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan dan memperoleh hasil penelitian yang benar.

  • Hasil Pembahasan
  • Pengertian Nikah Misyar

Menurut bahasa   misyār berasal dari bahasa arab السير yang berarti المضي على الارض [13] (berjalan diatas tanah). Menurut Ahmad Warson Munawir kata السير memiliki arti pergi atau berjalan.[14] Kata ini menurut Ahmad Asyqari adalah sighat mubālagah[15] dalam bentuk isim fāil  atas wazan مفعال, diambil dari kata sāra, yasīru, sairān. Misyār berarti laki-laki yang banyak berpergian. Hal ini seperti yang telah disebutkan Al-Asyqārī dalam kitabnya Mustajaddad Fiqhiyyah:

المسيار في الغة على وزن مفعال صيغة مبالغة اسم الفاعل من سار،يسير،سيرا، و المسيار هو: الرجل الكثير السير[16]

Artinya: Misyār ini merupakan sebuah bentuk mubalaghah yang diperuntukkan bagi seorang lelaki yang banyak menempuh perjalanan.

Pada akhirnya kata tersebut menjadi nama untuk jenis pernikahan ini, sebab dengan cara ini orang tidak konsisten memenuhi hak-hak rumah tangga yang telah diwajibkan oleh syari’at. Karena seseorang laki-laki itu tidak tinggal menempat pada satu tempat, dia lebih memilih berpindah-pindah dengan tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.

Shaykh Abū Mālik Kamal bin al-Sayyid Salīm, mendefinisikan nikah Misyār dengan:

عقد الرجل زواجه على امرأة عقدا شرعيا مستوفي شروطه و أركنه ، إلا أن المرأة تتنازل فيه برضاها عن بعض حقوقها على الزوج كاالسكن و النفقة و المبيت عندها و القسم لها مع الزوجات و نحو ذالك[17]

Artinya: Satu pernikahan dimana seorang laki-laki melakukan akad pernikahan terhadap seorang wanita dengan akad syar’i yang memenuhi syarat- syarat dan rukun-rukunnya; namun si-wanita menggugurkan sebagian haknya dengan kerelaannya seperti tempat tinggal, nafkah, giliran bermalam bersamanya, dan pembagian hak yang setara dengan istri- istri suaminya yang lain.

Sedangkan menurut Al-Daryūsī, Misyār adalah sebuah nama bagi pernikahan, dimana suami pergi ke tempat istrinya, bukan sebaliknya. Kata ini terambil dari ungkapan يسير الشخص على فلان   yang artinya seseorang pergi ke tempat si fulan untuk mengunjungi sewaktu-waktu. Pernikahan ini disebut   misyār karena pihak suami lah yang datang mengunjungi isteri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit. Ia tidak berlama-lama tinggal bersama istrinya, bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.[18]

Sebagian orang memandang bahwa Misyār adalah bahasa ‘amiyyah yang berasal dari orang-orang Badui di sejumlah Negara Arab. Berkaitan dengan hal tersebut, Yusuf al-Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna Misyār (secara pasti). Menurutnya, kata Misyār bukan sebuah kata baku, tetapi bentuk ‘amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, dengan pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.[19] Selanjutnya al-Qardhawi mendefinisikan nikah   misyār dengan:

وهو الزواج الذي يذهب فيه الرجل إلى بيت المرأة ولا تنتقل الرأة إلى بيت الرجل في الغالب  تكون هذه زوجة ثانية وعنده زوجة أخرى الذي تكون في بيته وينفق عليه

Artinya: Yang dimaksud dengan nikah misyār adalah apabila seorang suami pergi kerumah istri dan istri tersebut tidak pindah kerumah suaminya. Dan biasanya, istri ini merupakan istri kedua dan suami telah memiliki istri lain yang tinggal dirumahnya dan ia beri nafkah.[20]

Dari pengertian yang diberikan al-Qardhawi disini memberikan identifikasi bahwa nikah   misyār sama halnya seperti nikah pada umumnya yang dihalalkan agama. Namun perbedaan nya pelaku nikah   misyār tidak berada dan konsisten menetap di rumah si istri tersebut, karna sering kali si suami telah punya istri yang wajib ia beri nafkah, sehingga ia berkomitmen bersama istri pertamanya.

Wahbah al-Zuhaily dalam al-Qadhaya wa al-Fikr al-Mu’assir memberi pengertian nikah   misyār dengan:

الزواج الذي يتم بين رجل و إمرأة بإيجاب و قبول و شهادة شهود،و حضور ولي، على أن تتنازل المرأة عن حقوقها المادية من مسكن و نفقة لها و لأولادها إن ولدت، و عن بعض حقوقها الأدبية مثل القسم في المبيت بينها و بين ضرتها، و تكتفي بأن يتردد عليها الرجل أحيانا[21]

Artinya: Pernikahan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dengan terpenuhinya akad ijab dan kabul, persaksian saksi, hadir wali, dengan ketentuan perempuan tersebut melepaskan hak materi yang diberikan berupa tempat tinggal, nafkah untuknya dan anak-anaknya jika satu saat lahir, dan dia melepaskan hak moril nya seperti persamaan hak bermalam antara dia dan istri nya yang pertama (jika ia memiliki satu istri), ia hanya menuntut cukup mendatangi nya sekali-kali.

Dari pengertian yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily dapat dipahami bahwa nikah   misyār merupakan suatu pernikahan yang telah memenuhi syarat-syarat nikah, namun si wanita memberikan keringanan kepada si suami dalam hal nafkah lahir berupa materi untuk si istri dan anak-anak nya, termasuk dalam hal keadilan bermalam dia tidak menuntutnya untuk disamakan. Hanya cukup baginya terpenuhi kebutuhan biologis sekali-kali.

Secara keseluruhan Dalam pernikahan Misyār, seorang isteri memberikan keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama. Hal tersebut terkadang dijadikan syarat antara suami isteri, kadang-kadang tidak. Syarat ini tidak disebutkan dalam akad, hanya saja antara kedua belah pihak saling mengerti dan saling memahami dengan sendirinya.[22] Bahkan kadang-kadang kewajiban dialihkan kepada isteri yang berkewajiban menafkahi suami. Karena si isteri tidak menuntut apapun dari suami, ia dianggap lebih mapan. Selain tidak datang dalam beberapa hari dalam seminggu atau bahkan sebulan sekali, suami hanya datang untuk memenuhi kebutuhan biologis sang isteri bahkan sebaliknya, kebutuhan materi suami yang dipenuhi isteri.

Pernikahan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut memberikan nafkah lahir kepada wanita dan tidak pula menyediakan tempat tinggal bagi para istrinya. Seorang suami dapat bebas dari kewajiban terhadap isterinya untuk memenuhi hak-haknya. Pernikahan Misyār sebagai solusi bagi para janda yang mapan secara ekonomi. Pernikahan semacam ini tidak bisa memenuhi tujuan dilaksanakannya pernikahan secara syara’ yaitu terciptanya sakīnah dan mawaddah, karena pernikahan semacam ini hanya merupakan pelampiasan hawa nafsu dan sebatas mencari kesenangan.

  • Pendapat Ulama Kontemporer Terhadap Nikah Misyār

Ulama kontemporer berbedapat pendapat terkait nikah misyār ini. Sebagian dari mereka membolehkannya seperti yusuf al-Qardhawi dan wahbah Zuhaili, dan sebagian nya lagi ada yang mengharamkan seperti pendapat Syekh Albani, da nada sebagian dari mereka mengambil jalan tengah, yaitu dengan cara bertawaqquf (Abstain). Berikut secara rinci pendapat dari beberapa ulama tersebut:

  1. Yusuf Qardhawi

Yusuf al-Qardhawi merupakan ulama kontemporer yang memiliki pemikiran kekinian dan moderat. Ia selalu berusaha memberikan jawaban-jawaban mengenai persoalan terkini dengan pendapat-pendapat nya yang berbeda dengan ulama-ulama lainnya. Salah satu fatwanya yang paling kontroversial adalah membolehkan nikah misyār.

Dengan fatwa nya tersebut beliau pernah menggegerkan Qatar dan negara-negara teluk lainnya. Ketika ia berkunjung ke suriah kurang lebih 2 minggu ia merasakan imbas dari semua itu. Ia mengira perbedaan adalah hal yang wajar sebagai respon dari fenomena baru yang muncul. Hal ini bisa dialami oleh semua lapisan masyarakat baik orang awam maupun orang terpelajar. Perbedaan pendapat berakhir dengan satu persepsi, tetapi kadang bisa berlangsung sehingga menimbulkan pecah belah dan sekat-sekat.[23]

Nikah misyār memang bukan pernikahan yang dianjurkan oleh Islam. Namun, zaman semakin berubah, perkembangan ilmu pengetahuan pun sangat signifikan apalagi bagi para perempuan modern (awanis), Jadi menurut Yusuf Qardhawi sangat tidak efektif jika hukumnya juga tidak berubah karena hukum itu berubah sesuai dengan illatnya.[24] 

Sebagaimana dikutip Abdul Mālik Bin Yūsuf Al-Mutlāq, pernikahan Misyār dibolehkan karena sebagaimana pernikahan dā’im (pernikahan konvensional), nikah Misyār juga mewujudkan maslahat syari’at,  dimana pasangan suami istri mendapatkan kepuasan batin. Juga adanya kehidupan  keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan. Secara hukum, nikah Misyār sah  adanya, karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah. Di mana ada  ijab dan qabul, saling meridhai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua  mempelai sepadan, dan ada mahar yang disepakati.

Setelah akad nikah keduanya  resmi menjadi suami istri. Suami istri yang di kemudian hari punya hak. Hak  keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak  biaya hidup, dan lain sebagainya. Yang berhubungan dengan hak dan kewajiban  suami istri. Hanya saja, keduanya saling meridhai dan sepakat, bahwa tidak ada  tuntutan bagi istri terhadap suami untuk tinggal bersama istrinya, juga hak berbagi  hari giliran. Sebab semuanya tergantung kepada suami. Kapan saja suami mau  menziarahi istrinya, maka dia akan menjumpainya disembarang jam, siang  maupun malam.[25] 

Menurutnya, jika syarat-syarat dan rukun-rukun nikah itu sudah terpenuhi semua maka seorang  ulama fiqih tidak mempunyai hak untuk  membatalkan akad nikah   misyār karena  rukun dan syaratnya telah terpenuhi atau menganggap pernikahan ini adalah bagian  dari zina gara-gara adanya tanazul.[26]

Karena nya, Yusuf al-Qaradhawi menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa nikah   misyār bertujuan untuk mencapai kenikmatan seksual semata dan itu dapat merendahkan  derajat wanita itu sendiri dengan  pendapatnya: “ patut saya katakan bahwa  tujuan mencari kenikmatan dan kepuasan  dalm pernikahan bukanlah tujuan yang jelek  dan hina, sebagaimana yang mereka  gambarkan. Bahkan salah satu tujuan nikah  adalah untuk mencari kenikmatan. Oleh  karena itu tidak diperbolehkan tanazul imta‟  (mencari kenikmatan) ketika dilaksanakan  akad nikah.[27] Menurut Yusuf Qaradhawi, tujuan   mencari kenikmatan dalam pernikahan  tidak hanya dari pihak laki laki saja, tetapi  tujuan ini berasal dari kedua belah pihak,  baik laki-laki maupun perempuan.

Jika ditinjau lebih lanjut dari argumentasi-argumentasi  yang digunakan oleh Qardhawi diatas, maka terdapat tiga unsur utama dalam argumentasi yang digunakan oleh al-Qardhawi, pertama argumentasi sosiologis, dengan melihat fenomena-fenomena sosial para wanita sekarang yang disebut nya dengan istilah awanis. Yang kedua, argumentasi kemashlahatan dengan melihat bahwa nikah   misyār dapat menghindari seseorang dari tindak laku zina seiring meningkatnya fasilitas-fasilitas zina yang menyebar di zaman sekarang baik dalam bentuk media sosial atau tempat pelayanan zina resmi. Ketiga, argumentasi materiil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun dalam hukum Islam.

Terkait dengan pembebasan nafkah lahir, dan tempat tingal kepada suami, itu merupakan bentuk keringanan yang diberikan oleh si wanita kepada suami. Dan ini sah-sah saja jika dilakukan karena salah satu prinsip nikah terbina atas azaz saling suka atau kerelaan (‘an-taradhin). Dan jika pun disyaratkan untuk membebaskan nafkah dan tempat tinggal, maka syarat tersebut tidak menghalangi kebolehan nikah   misyār, selama syarat tersebut tidak disebutkan sewaktu akad dan itu bukan syarat yang harus ditunaikan. Karena syarat yang wajib ditunaikan adalah syarat yang dengannya membolehkan seoarang laki-laki menikmati kemaluan (farji) seoarang perempuan. Sesuai dengan hadis Nabi:

أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا به ما اسْتَحْلَلْتُمْ به الفُرُوجَ[28]

Artinya: Syarat yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan wanita. (HR. Bukhari dan Muslim).

  • Wahbah al-Zuhaili

Menurut Wahbah al-Zuhaili nikah misyār secara dzahir sah, artinya nikah model ini dibolehkan dalam syara’. Karena telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah yang dituntut oleh syara’.[29] Yaitu, adanya ijab kabul, hadirnya dua orang saksi yang adil, dinikahi oleh wali, ada mahar yang disepakati, dan didasari azaz saling suka. Meskipun dalam praktik pernikahan model ini tidak terdapat tanggung jawab seorang suami terhadap keluarganya, baik dalam pendidikan, maupun pengawasan. Terkait tanggung jawab suami dan istri dalam rumah tangga terlepas dari prinsip lahiriah hukum, masing-masing persoalan mereka dengan Allah, tidak mempengaruhi dan mengubah keabsahan hukum nikah misyār itu sendiri. 

Selanjutnya sebagaimana dikutip oleh Usamah dalam kitab  Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā al-Zawāj Wa al-Thalāq,  bahwa nikah ini hukumnya adalah sah tetapi tidak disukai dalam syara’ (makruh), karena kurang mencapai tujuan syariat Islam dalam menikah, terkait ketenangan jiwa, bimbingan terhadap keluarga dan anak, dan perhatian terhadap keluarga dengan sempurna.[30] Bagi Wahbah al-Zuhaili menikah bukan hanya masalah terpenuhi materi, bukan juga tercapainya kebutuhan dan penyaluran aktifitas seksual semata. Tetapi pernikahan lebih mengedapankan ikatan yang kuat (dalam al-Qur’an disebut dengan Mitsaqan Qhalidhan). Yang hanya terpenuhi jika menikah dengan konsep pernikahan seutuhnya. Bahkan Wahbah al-Zuhaily mencela mereka yang mengharamkan, karena dalam pernikahan jenis ini salah satu tujuan perkawinan menundukkan pandangan dan menjaga perempuan dapat tercapai. Dan di sini, istri menggugurkan haknya sendiri 

Sekalipun model nikah ini dibolehkan, namun sebaiknya nikah ini  dihindari karena berdasarkan teori Saddu Dzari’ah, dampak negatif (mafsadat) yang ditimbulkan oleh nikah misyār ini terlalu banyak. dan seringkali ditemukan tuduhan (fitnah) pada kemurnian nasab, dan kehormatan keturunannya.

Jika diperhatikan argumentasi-argumentasi dari pendapat yang diutarakan oleh al-Zuhaili diatas maka kita menemukan dua unsur utama yang dijadikan oleh al-Zuhaili dalam penetapan pendapat nya. Pertama unsur materil, selama unsur materil (syarat dan rukun) nikah terpenuhi maka tidak ada jalan untuk mengharamkan nikah model ini, walau apapun nama nya, karena hakikat dari sebuah hukum itu tidak pada nama tetapi pada musamma (hakikat dari nama itu sendiri). Pada aspek in i al-Zuhaili lebih melihat kepada aturan munahakatnya, jika sudah selaras dengan rukun dan  syarat pernikahan, maka tidak ada satu yang bertentangan dengannya. Bila dilihat lebih lanjut Wahbah al-Zuhaili disini sangat berpegang teguh dengan unsur formil tersebut, seperti karektreristik ijtihad ulama klasik sebelumnya. Sehingga walau ada alasan lain yang diungkapkan oleh ulama lain yang kontra dengan nya, beliau tetap memandang nikah itu sah-sah saja jika dilakukan karena telah terpenuhi unsur formil. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari metodelogi ijtihad kontemporer Wahbah al-Zuhaili, beliau memperhatikan pendapat-pendapat ulama terdahulu dengan memperhatikan keabsahan hadis-hadis yang dijadikan dalil para ulama tersebut.[31]

  • Nashiruddin Albani

Terkait masalah Misyār, Albani berpendapat bahwa hukum nikah misyār adalah haram.[32] Fatwa ini bermula saat Syekh Ihsan Muhammad yang memiliki laqab Abu Thariq, berkunjung ke rumah Albani, kemudian Syekh Ihsan Muhammad meminta fatwa Albani mengenai model pernikahan ini. Menurut Albani keharaman nikah Misyār dikarenakan terdapat dua sebab, yaitu:[33]

  1.  

أن المقصود من النكاح هو السكن كما قال تعالى (و من آياته أن خلق لكم من) أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة و رحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون (الروم:21)،وهذا الزواج لايتحقق فيه الأمر

Artinya: Maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum: 21). Sedangkan pernikahan semacam ini tidak mewujudkan demikian. 

  •     

أنه قد يقدر للزوج أولاد من هذه المرأة، وبسبب البعد عنها و قلة مجيئه إليها سينعكس ذلك سلبا على أولاده في تربيتهم و خلقهم

Artinya: Boleh jadi Allah ta’ala mentaqdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlak.

Jika diteliti lebih jauh, karekteristik fatwa Albani ini didasari pada dua hal utama. Yaitu memandang maqashidun nikah sebagai dasar fatwanya yang diinginkan oleh Allah SWT. Yang ingin dicapai dari nikah adalah tercapai nya ketenteraman. Dan ini tidak diperdapatkan pada nikah miyar, dimana seorang suami hanya datang sekali-kali saat dibutuhkan untuk penyaluran hasrat sesksual si istri semata, terkesan nikah ini bermain-main dengan ketetapan Allah dan berorientasi pada unsur bilologis saja.  Karena nya Albani ingin mengajak kepada kita kembali kepada kemurnian tekstual Firman Allah SWT. Yang membicarakan maksud dari nikah itu, jadi menurut hemat penulis , secara tidak langsung,  membolehkan nikah misyār menurut nya telah merubah dan keluar dari anjuran Allah SWT.

Unsur kedua yang melatar-belakangi fatwa Albani adalah melihat kerusakan (mafsadatnya). Nikah misyār dipandang beliau banyak mendatang kan mafsadat. Karena dengan nikah misyār anak-anak yang menjadi tanggung jawab seorang suami dengan sendiri nya akan terlantar dalam pendidikan dan perilakunya. Walau bagaimanapun sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk mendidik anak dan keluarganya, dan mengasuh serta memelihara anak-anak mereka baik secara jasmani, ruhani, maupun terkait kecerdasan pendikan keagamaannya.[34] 

Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Syeikh Abdul Sattar al-Jubali dalam fatwa nya terkait keharaman nikah miyar. Beliau berargumentasi bahwa nikah model ini menyebabkan suami tidak punya rasa tanggung jawab keluarga. Akibatnya, suami akan dengan mudah menceraikan istrinya, semudah dia menikah. Belum lagi praktek nikah misyār yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam, tanpa wali. Semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita. Karena tak ada tujuan lain, selain agar nafsu seks-nya terpenuhi tanpa ada tanggung jawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya, akan merasa asing dengan bapaknya, karena jarang dikunjungi. Dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.[35]

  • Syekh Utsaimin

Sebagai ulama kontemporer Syekh Utsaimin dikenal memilik semangat yang tinggi dalam permasalahan agama, memiliki metode pengambilan kesimpulan dengan bukti-bukti yang kuat, dan menerapkan prinsip-prinsip agama secara tepat. Dalam memberikan fatwa, syaikh utsaimin selalu mendasarkan pada dalil al-qur’an dan as- sunnah. Hal ini sebagaimana juga dilakukan oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baz.[36] Sehingga dalam fatwa nya tidak terkesan tergesa-gesa dan sangat hati-hati dalam mengambil kesimpulan hukum, seperti pada masalah nikah misyār yang penulis kaji disini. Dalam fatwanya Syekh Utsaimin memilih posisi abstain (ber-tawaqquf). Karena tidak ditemukan nash secara lahir yang mengarah kepada membolehkan atau sebaliknya. Karenanya dalam masalah ini sangat penting melakukan kajian yang mendalam dan pencermatan yang luar biasa untuk masalah ini.[37]

Pendapat utsaimin di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum   mencapai kesepakatan tentang hukum nikah Misyār. Karena nikah Misyār merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya, maka sudah sewajarnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Adapun beberapa hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat tersebut adalah: Pertama, perbedaan manhaj dalam menetapkan hukum. Antara kelompok yang membolehkan dan yang melarang pernikahan Misyār sama-sama menggunakan dalil akal dalam menentukan hukumnya. Namun letak perbedaannya adalah kelompok yang membolehkan nikah Misyār lebih banyak menggunakan pendekatan kemaslahatan (istislahi) yang dapat dicapai dalam pernikahan ini. Meskipun ulama yang membolehkan berasaskan dalil kasus Saudah istri Nabi yang memberikan hak malamnya untuk Aisyah- namun dengan proporsi yang kecil.

  • Nikah Misyar dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
  • Undang-Undang No 1 Tahun 1979 Tentang Perkawinan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[38] Sedangkan mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi :“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.[39]

Jika memandangan dari segi sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjalaskan bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.[40] Hal ini berarti bahwa, jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam), maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.[41] Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan.[42]

Dari ketentuan pasal 2 ayat (2) undang-undang no 1 tahun 1974, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu ; Perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama. Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya

Peran pemerintah dalam kegiatan perkawinan menyangkut pada proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan; “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[43] Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-anaknya, termasuk untuk kepentingan harta kekayaan yang terdapat dalam perkawinan tersebut.

Berpedoman dari pasal-pasal yang terdapat di dalam UU No 1 Tahun 1974. Maka kedudukan nikah misyār yang tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh dalam perkawinan (nafkah lahir), dengan adanya keinginan sendiri dari seorang wanita untuk mencabut hak yang seharusnya diperoleh dari seorang laki-laki. Pencabutan hak perkawinan yang berkaitan dengan nafkah lahir tentu akan berefek kepada tidak seimbangnya keduduakan suami ditengah-tengah keluarga

  • Menurut Kompilasi hukum Islam

Fenomena nikah misyār tidak sebatas hal-hal diatas, nikah misyār meski adanya izin dari pihak istri tetapi pernikahannya tetap saja dirahasiakan, hal ini tentu sangat bertentangan dengan KHI yaitu: Pasal 5 “(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.[44]” Dan Pasal 6 “(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.”[45] Nikah misyār yang bersifat dirahasiakan ini bertentangan dengan al- Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. al-Baqarah ayat 282)[46]

Ayat di atas berbicara masalah jual beli namun kalau kita kiaskan terhadap pernikahan terhadap persamaan yaitu sama-sama dalam bidang muamalah, jual beli ditulis agar tidak terjadi perselisihan di akhirnya begitu juga pernikahan yang merupakan mitsaqan ghalizan. Agar tercapainya mawaddah wa rahmah. Secara garis besar tujuan dalam nikah misyār menurut penulis bukan seperti yang ada dalam pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam. Walaupun niatnya baik untuk membangun rumah tangga dan untuk menjauhi dari zina tetapi tujuannya adalah bukan menjalin kekeluargaan dan membina keluarga tetapi murni hubungan seksual dan ia termasuk kategori pernikahanan yang tidak resmi meskipun tidak haram.

Nikah misyār ini tidak bisa mewujudkan mawaddah wa rahmah. Karena seorang suami menggaulinya sebentar satu bulan sekali atau dua bulan sekali lalu ia pergi menikmati perempuan lain atau dia hanya menggunakan perempuan tersebut untuk tidak mendapatkan keturunan sehingga tidak ada unsur tanggung jawab, dan sebenarnya dalam hal ini terjadi penyimpangan dari maksud Allah SWT dalam mensyariatkan suatu pernikahan. Dari sini penulis menyimpulkan bahwa nikah misyār lebih banyak mengarah kepada faktor pemenuhan seksualitas belaka yaitu tidak sesuai dengan ketentuan dalam KHI dan undang-undang perkawinan 1974, karena lebih banyak mendatangkan madharat dari pada maslahah. Maka nikah misyār lebih baik ditinggalkan karena mendatangkan kerusakan sebagaimana dalam kaidah fiqh ditegaskan.

  • Dampak Nikah Misyār

Dampak atau akibat dari pernikahan misyār ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu dampak positif dan negatif. Adapun dampak positifnya adalah:

  1. Terhindar dari perilaku zina
  2. Terpenuhi nya unsur ibadah
  3. Solusi  bagi kaum awanis
  4. Menyegerakan pernikahan dengan kriteria laki-laki yang dinginkannya.

Selain dampak positif yang telah disebutkan diatas pernikahan misyār juga mendatangkan dampak negatif (buruk) bagi pelakunya. Diantara lain adalah sebagai berikut:[47]

  1. Nikah Misyār merupakan bentuk pelecehan terhadap wanita
  2. Mengganggu keharmonisan keluarga  dan meresahkan masyarakat;
  3. Berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh pernikahan itu; 
  4. Bertentangan dengan undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam
  5. Dicurigai dapat menimbulkan dan   menyebarkan penyakit kelamin; 
  6. Nikah misyār sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.

5. Penutup

Nikah misyār adalah nikah yang terbina atas ketiadaan penekanan pada hak-hak hukum seperti nafkah, dan tempat tinggal. Ulama kontemporer berbedapat pendapat terkait nikah misyār ini. Sebagian dari mereka membolehkannya seperti yusuf al-Qardhawi dan wahbah Zuhaili, dan sebagian nya lagi ada yang mengharamkan seperti pendapat Syekh Albani, da nada sebagian dari mereka mengambil jalan tengah, yaitu dengan cara bertawaqquf (Abstain). Adapun penyebab perbedaan pendapat dari mereka ini disebabkan oleh: Pertama, perbedaaan manhaj dalam menetapkan hukum. Kedua, perbedaan cara pandang penetapan kriteria keabsahan hukum. Ketiga, perbedaaan cara pandang unsur-unsur hukum yang harus dipenuhi. Keempat, perbedaan wajib dan tidak nya nikah itu diberitahukan.

Nikah misyār ditinjau dari sudut pandang mashlahah dan mafsadatnya terdapat bebrapa akibat positif dan negative. Adapaun dampak positif yang ada pada nikah misyār adalah seseorang dapat terhindar dari pelaku zina, dan bagi kaum awanis nikah ini menjadi solusi yang tepat bagi mereka. Namun jika dilihat dari mafsadat (kerusakan) maka nikah misyār mendatangkan banyak kerusakan. Diantara lain kerusakan yang terjadi akibat nikah misyār ini adalah hilangnya tanggung jawab seorang suami kepada keluarga, sehingga dapat terjadi pelantaran terhadap anak dan istri. hal tersebut tidak baik untuk perkembangan anak karena ayahnya tidak selalu ada disampingnya sebagi bentuk kasih sayang dan penjagaan sehingga ditakutkan anak akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang merusak dan tentu dampaknya akan lebih buruk lagi.

Nikah misyār dari konsep maqashidun nikah (tujuan pernikahan) tidak bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Karena seorang suami hanya menggauli istri nya sekali-kali kapan waktu diperlukan, bisa sebulan sekali atau dua bulan tergantung dari kebutuhan sang istri. Setelahnya si suami pulang menuju kerumah istri pertamanya. Dia hanya menggunakan perempuan misyār nya sebagai pemuas nafsu seksual semata, tidak ada unsur tanggung jawab pada model ini. Sehingga banyak terjadi penyimpangan dari maksud peng-syari’atan nikah itu sendiri.

Nikah misyār Dalam konteks keindonesian dipandang tidak relevan, karena nilai-nilai yang ingin dicapai dari nikah dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berbeda dengan nilai-nilai yang dinginkan oleh nikah misyār. Nilai yang dinginkan dari sebuah pernikahan dalam perundang-undangan Indonesia adalah dengan pernikahan maka akan terwujudnya mitsaqan qhalidzza. Sedangkan pada nikah misyār hanya terdapat nilai-nilai watha’ saja. Dan ini jelas berbeda dengan konsep hukum di Indonesia bak dalam Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilsasi Hukum Islam. Karena itu nikah misyār dipandang cacat hukum, sekalipun unsur materil nya terpenuhi namun ada unsur yang tidak terpenuhi disana.

Daftar Pustaka

Abdul Ghani badullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta; Gema Insani Press, 1994

Abdul Malik Bin Yusuf Bin Muh}ammad Al-Mutlaq, Zawaj al-Misyar Dirasah Fiqhiyyah Waijtima’iyyah Naqdamiyyah, Saudi Arabia: Ibn Labun  Publisher, 1423 H.

Abdul Mālik Bin Yūsuf Bin Muhammad Al-Mutlaq, Zawāj al-Misyār Dirasah Fiqhiyyah Waijtima’iyyah Naqdamiyyah, Saudi Arabia: Ibn Labun publisher, 1423 H.

Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Presindo, 1992

Abū Mālik Kamal bin al-Sayyid Salīm, Sahih Fiqh Sunnah, Riyadh: Jami’ah al Islamiyyah al-Su’udiyah, t.t.

Ahmad Bin Yūsuf Al-Daryūsī, Al-Zawāj al-‘Urfi Haqiqatuhu wa Ahkamuhu wa Atsaruhu wal Ankihat Dzatu Al-Shilati Bihi, al-Riyadh: Dar-al ‘Ashimah, 2005.

Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1984.

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2001

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009),

 Beni Ahmad Saebani, Rusdaya 1, Bandung: Pustaka Setia, 2001

Departemen Kementerian Agama Republik Indonesia. Qur’an kemenag 2002.

Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993

Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Logis Wacana Ilmu, 1997

H.A Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999Lihat juga dalam

Ihsan bin Muhammad bin ‘Ais al ‘Atibi, Ahkamu al-Ta’addud fii Dhau-i al kitab wa al-Sunnah, Yordania: Baitu Ras, 1997.

Ihsan bin Muhammad bin ‘Ais al ‘Atibi, Ahkamu al-Ta’addud fii Dhau-i al kitab wa al-Sunnah, Yordania: Baitu Ras, 1997

Iman Saiful Mukminin, Kamus Ilmu Nahu dan Sharaf, Amzah, t.t.

M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Moh. Nazir, Metodelogi Penelitian, Bogor: Ghlmia Indonesia, 2011

Mohd. Idris Ramulyo, “Hukum Perkawianan Islam (Suatu Analisis dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”. Oleh Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember (2016), hlm. 421.

Muhammad Abdul Raūf Al-Manāwi, Al-Ta’ārif Al-Manāwi, Maktabah Syamilah Ishdar, 3.8 v. 10600, 2009.

Nasiri, “Meneropong pelaku kawin misyar di Surabaya dari sudut dramaturgi Erving Goffman”, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 15, No. 2. Thn 2015

Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 297. Lihat juga dalam Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005

Rusdaya Bashri Fikih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah. (Jakarta: Kaffah Learning Center, 2019

Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Kaukaba, 2013

Saiful Mukminin, Kamus Ilmu Nahu dan Sharaf, Amzah, tt

Saydi Muhammad Syatta Al-Dimyati, ‘Ianatu Al-Thalibin, Semarang: Himah Keluarga, tt.

Sayid Shabiq, Fikih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Jakarta Selatan: Pena Pundi Aksara, 2006

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986

Sayyid Sabiq, (Red) Moh. Thoib, Fiqih Sunnah/Sayyid Sabiq, Bandung: Alma’arif, 1997

Sayyid Sabiq, (Red) Moh. Thoib, Fiqih Sunnah/Sayyid Sabiq, Bandung: Alma’arif, 1997

Setyo, Koko. Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan Misyār Menurut Hukum Islam, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013

Simbolon, Parlindungan. Nikah Misyār Dalam Pandangan Hukum Islam, Tinjauan terhadap buku al-Umm, oleh Muhammad bin Idris al-Syafi‟I, Jurnal Al-Himayah, Volume 3 Nomor 2 Oktober 2019

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986

Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan Memilih Jodoh, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1992

Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā Al-zawāj Wa al-Thlmāq, Riyadh: Dar al-Nafais, 2000

Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā Al- zawāj Wa al-Thlmāq, Riyadh: Dar al-Nafais, 2000.

UU Perkawinan (UU RI No1 Tahun 1994) Beserta penjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004

UU perkawinan, UU RI. No 1 tahun 1974 Beserta Penjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004.

Wahbah Al-zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, cet, 3 Beirut, Dár al-Fikr, 1989 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Juz 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Wahbah al-Zuhaili, Qadhaya al-Fikh wa al-Fikr al-Mu’ashir, Dimsiq: Dar al-Fikr, 2007.

Wahbah al-Zuhaily, al-Qadhaya wa al-Fikr al-Mu’assir, Damaskus, Dar al-Fikr, 2006.

Yusuf al-Qardhawi, Zawaj al-Misyar: Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Riyadh: Dar al- Qalam li Kulliyyat al-Islamiyyah, 1423 H

Yusuf Qardhawi, Fatwa Al Mu‟assirah, terj.  Muhammad Ihsan, Jakarta: Najah Press, 1994.


[1]Peminangan dalam ilmu Fiqih disebut khitbah, artinya permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang dipercayainya sesuai dengan ketentuanketentuan agama. Lihat dalam Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 13.

[2]Menurut Fathurrahman, diantara lain karakteristik yang dimiliki Hukum Islam adalah: 1. Sempurna: yakni, syariat Islam yang diturunkan dalam bentuk umum, sehingga hukumnya bersifat tetap tidak berubah-rubah lantaran zaman dan waktu. Sedangkan untuk hukum yang lebih rinci syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan patokan umum. Penjelasan dan rincian nya diserahkan kepada manusia. Dengan demikian, syari’at Islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal. 2. Elastis: yakni hukum Islam bersifat universal dan lentur yang mencakup segala bidang kehidupan manusia, seperti masalah kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk, dan lain-lain. Namun demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Tetapi semua memerlukan kreatifitas dan proses ijtihad umat nya. 3. Universal dan dinamis: yakni hukum Islam meliputi seluruh ulama, tanpa tapal batas, ia tidak dibatasi oleh pada daerah terbentuk seperti ruang lingkup ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan non Arab dan orang Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping itu, hukum Islam pun memiliki sifat dan dinamis, cocok untuk setiap zaman. 4. Sistematis, yakni hukum Islam mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu sama lain. 5. Bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi, yakni dalam Islam terdapat aturan tertentu terutama dalam bidang mahdah yang irrasional, yakni manusia tidak boleh beribadah selain dengan cara yang telah ditetapkan syariat Islam. Tetap dalam bidang mu’amalah terkandung nilai-nilai yang bersifat ta’aqquli/ma’qul makna atau rasional. Artinya umat Islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut. Lihat dalam Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logis Wacana Ilmu, 1997), hlm. 45-52.

[3]Fuqaha merupakan bentuk jama’ dari Faqih. Adalah orang-orang yang ahli dalam bidang Fiqh, Fuqaha ini termasuk dalam kategori ulama, meskipun tidak setiap ulama disebut Fuqaha. Lihat dalam H.A Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 5.

[4]M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 14.

[5]Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta: Akademia Presindo, 1992) hlm. 114.

[6]UU Perkawinan (UU RI No1 Tahun 1994) Beserta penjelasannya, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), hlm. 8

[7]Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu pernikahan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda, bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Lihat dalam Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 59. Lihat juga dalam Wahbah Al-zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, cet, 3 (Beirut, Dár al-Fikr, 1989), hlm. 36. Baca juga Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Juz 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 9.

[8]Dalam terminologi hukum Islam pengertian wajib dapat diartikan sebagai tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan. Wajib dapat pula diartikan sebagai perintah-perintah yang mesti dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan) mendapat pahlma, jika tidak dikerjakan maka berdosa. Kewajiban merupakan implikasi dari adanya perintah (amar) yang bersifat memaksa untuk dikerjakan. Kecuali jika ada penghlmang yang dibenarkan syara’. Dalam konteks fiqih munakahat, kewajiban dikaitkan dengan pemenuhan hak yang dimiliki suami atau istri. “Dalam hubungan suami istri hak suami merupakan kewajiban bagi istri, dan kewajiban suami merupakan hak bagi istri.” Lihat dalam Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 297. Lihat juga dalam Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hlm. 1. Baca juga Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2001), hlm. 119.

[9]Kata mahar Secara etimologi (bahasa), mahar (صداق) artinya maskawin. Dan di dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia, mahar atau maskawin disamakan dengan kata. َصداق, ِصداق, مهر Sedangkan menurut Hamka, kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada mempelai perempuan ketika akan menikah. Arti yang mendalam dari makna mahar itu ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan. Lihat dalam Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), hlm. 294. Lihat juga dalam Beni Ahmad Saebani, Rusdaya 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 260.

[10]Abdul Ghani badullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta; Gema Insani Press, 1994), hlm. 101. Lihat juga dalam Sayyid Sabiq, (Red) Moh. Thoib, Fiqih Sunnah/Sayyid Sabiq, (Bandung: Alma’arif, 1997), hlm. 73.

[11]Nasiri, “Meneropong pelaku kawin misyar di Surabaya dari sudut dramaturgi Erving Goffman”, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 15, No. 2. Thn 2015, hlm. 201.

[12]Moh. Nazir, Metodelogi Penelitian, (Bogor: Ghlmia Indonesia, 2011), hlm. 54.

[13]Muhammad Abdul Raūf Al-Manāwi, Al-Ta’ārif Al-Manāwi, (Maktabah Syamilah Ishdar, 3.8 v. 10600, 2009), hlm. 420.

[14]Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 504.

[15]Adalah bentuk kalimah-kalimah yang menunjukkan pada ketentuan isim fa’il yang disertai tambahan makna tertentu. Pada hakikatnya, kalimah-kalimah itu berbentuk isim fa’il yang dialihkan kepada shighah mubalaghah dengan maksud penekanan makna ‘lebih’ atau ‘banyak. Isim fa’il kalimah عالم, berarti “orang yang berilmu”, kemudian ia dijadikan shighah mublaghah menjad علامة yakni “orang yarg banyak ilmunya”. Bentuk-bentuk sighat mubalaghah ada dua macam, Qiyasi dan Sima’I. Untuk Qiyasi ada 5 wazan (timbangan), فعال، مفعال، فعول، فعيل،فعل. Dan untuk Sima’I juga ada 5 wazan: فعيل، مفعل، فعالة، فعال، فاعول. Lihat dalam Iman Saiful Mukminin, Kamus Ilmu Nahu dan Sharaf, (Amzah, t.t), hlm. 143.

[16]Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā Al-zawāj Wa al-Thlmāq, (Riyadh: Dar al-Nafais, 2000), hlm. 161.

[17]Abū Mālik Kamal bin al-Sayyid Salīm, Sahih Fiqh Sunnah, Jilid 3 (Riyadh: Jami’ah al Islamiyyah al-Su’udiyah, t.t), hlm. 159.

[18]Ahmad Bin Yūsuf Al-Daryūsī, Al-Zawāj al-‘Urfi Haqiqatuhu wa Ahkamuhu wa Atsaruhu wal Ankihat Dzatu Al-Shilati Bihi, (al-Riyadh: Dar-al ‘Ashimah, 2005), hlm. 98.

[19]Yusuf al-Qardhawi, Zawaj al-Misyar: Haqiqatuhu wa Hukmuhu, (Riyadh: Dar al- Qalam li Kulliyyat al-Islamiyyah, 1423 H), hlm. 6.

[20]Yusuf al-Qardhawi, Zawaj al-Misyar…, hlm. 4

[21]Wahbah al-Zuhaily, al-Qadhaya wa al-Fikr al-Mu’assir, (Damaskus, Dar al-Fikr, 2006), hlm 89

[22]Abdul Mālik Bin Yūsuf Bin Muhammad Al-Mutlaq, Zawāj al-Misyār Dirasah Fiqhiyyah Waijtima’iyyah Naqdamiyyah, (Saudi Arabia: Ibn Labun publisher, 1423 H), hlm. 7.

[23]Yusuf al-Qardhawi, Zawaj al-Misyār…, hlm. 1.

[24]Yusuf Qardhawi, Fatwa Al Mu‟assirah, terj.  Muhammad Ihsan, (Jakarta: Najah Press, 1994), hlm. 40.

[25]Abdul Malik Bin Yusuf Bin Muh}ammad Al-Mutlaq, Zawaj al-Misyar Dirasah Fiqhiyyah Waijtima’iyyah Naqdamiyyah, (Saudi Arabia: Ibn Labun  Publisher, 1423 H), hlm. 117.

[26]Yusuf Qardhawi, Fatwa Al Mu‟assirah…hlm. 396.

[27]Yusuf al-Qardhawi Zawaj al-Misyār: Haqiqatuhu wa Hukmuhu…, hlm. 18.

[28]Yusuf Al-Qaradhawi, Zawaj Misyar Haqiqatuh…, hlm. 9.

[29]Wahbah al-Zuhaili, Qadhaya al-Fikh wa al-Fikr al-Mu’ashir, (Dimsiq: Dar al-Fikr, 2007), hlm. 92.

[30]Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā Al- zawāj Wa al-Thlmāq, (Riyadh: Dar al-Nafais, 2000), hlm. 261. 

[31]Faridatus Suhadak, Urgensi Fatwa dalam Pekembangan Hukum Islam, (de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 5 No 2, Desember 2013), hlm. 189-196.

[32]Menurut analisis Syekh Ihsan Haram nikah misyar dalam fatwa Albani ini karena ada faktor lain diluar dari akad, bukan hakikat dari nikah itu sendiri. Hakikat nikah tidak diharamkan, sebagaimana berlaku curang dalam jual beli dan mengerjakan shlmat diatas tanah rampasan. Maka pada dua perkara tersebut tidak dikatakan batal tetapi disebut haram. Artinya, shlmat dan jual belinya sah secara syar’I, namun diharamkan karena berlaku curang pada jual beli dan karena dikerjakan di tanah rampasan pada shlmat. Lihat dalam Ihsan bin Muhammad bin ‘Ais al ‘Atibi, Ahkamu al-Ta’addud fii Dhau-i al kitab wa al-Sunnah, (Yordania: Baitu Ras, 1997), hlm. 29.

[33]Lihat dalam Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā…hlm. 182. Lihat juga dalam Ihsan bin Muhammad bin ‘Ais al ‘Atibi, Ahkamu al-Ta’addud fii Dhau-i al kitab wa al-Sunnah, (Yordania: Baitu Ras, 1997), hlm. 29.

[34]Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:  Graha Ilmu; 2011), hlm. 18-19. Lihat juga di Muhammad Ali Yusuf As-Subki, Fikih Keluarga Pedoman Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 143-148.

[35]Chomim Tohari, Fatwa Ulama Tentang Hukum Nikah Misyar Perspektif Maqasid  Shari’ah”, tinjauan terhadap buku Diktat Ahwal Shakhsiyah fiShari’ah Islamiyah, sebuah diktat  yang dijadikan rujukan kuliah di S1, tingkat 2, jurusan hukum Islam, universitas al-Azhar Cairo,  Al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November (2013), hlm. 215. 

[36]Muhammad Fathoni, Untaian Indah…, hlm. 122.

[37]Lihat dalam Lihat dalam Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqārī, Mustajaddad Fiqhiyyah Fi Qadhāyā…hlm. 182-183. Lihat juga dalam Ihsan bin Muhammad bin ‘Ais al ‘Atibi, Ahkamu al-Ta’addud fii…, hlm. 28.

[38]UU perkawinan, UU RI. No 1 tahun 1974 Beserta Penjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004.

[39]Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan.

[40]Mohd. Idris Ramulyo, “Hukum Perkawianan Islam (Suatu Analisis dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”. Oleh Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember (2016), hlm. 421.

[41]Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan.

[42]Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 tahun 1974.

[43]Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 tahun 1974.

[44] Pasal 5 KHI.

[45] Pasal 6 KHI.

[46]Departemen Kementerian Agama Republik Indonesia. Qur’an kemenag 2002.

[47]Rusdaya Bashri, Fikih Munakahat 4 Mazhab…, hlm. 245.

TINGGALKAN KOMENTAR