SEKILAS INFO
: - Sabtu, 07-12-2024
  • 4 Tahun Yang Lalu / Terdapat Beberapa Tampilan Style Untuk Web Sekolahku Keren.
UPAYA GURU MADRASAH DALAM MENINGKATKAN PERILAKU SOPAN SANTUN SISWA DI “MTs N 2 PELALAWAN”

Diah ayu Pramest1), Iin Nurjanah2), Riyadhus Sa’adah3) Muhammad4)

Email: iinnurjannah88@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to find out the efforts of madrasah teachers in improving the polite behavior of students in schools where many students in the current era are lacking in polite behavior. This study uses a qualitative approach with phenomenological research methods. The research subjects were teachers at MTs N 2 Pelalawan with a total of 5 people. In this study, the informants were taken by purposive sampling. Collecting data using interviews and observation. The results of the study stated that: the forms of efforts to improve student behavior in schools carried out by teachers were: religious cultivation, teaching and learning process, punishment, individual and group guidance, and parental involvement.

Keywords: Character Education, Teacher Effort, Polite

Abstrak : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya guru madrasah dalam meningkatkan perilaku sopan santun siswa di sekolah yang mana banyak siswa di era sekarang kurang dalam perilaku sopan santunnya. Penelitian  ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi. Subjek penelitian adalah Guru di MTs N 2 Pelalawan dengan jumlah 5 orang. Pada penelitian ini pengambilan informan diambil secara Purposive Sampling. Pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa: bentuk- bentuk upaya meningkatkan sikap sopan santun siswa di sekolah yang dilakukan oleh guru yaitu: penanaman agama, proses belajar mengajar, hukuman, bimbingan individual dan kelompok, serta keterlibatan orang tua.

Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Upaya Guru, Sopan Santun

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2045. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan  Proses yang dilakukan secara sadar serta terencana yang dilakukan melalui pembimbingan dan pembelajaran bagi setiap individu agar menjadi seseorang yang mandiri merupakan makna dari pendidikan. Sistem pendidikian nasional menyatakan yaitu pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, keratif, mandiri dan menjadi negara yang demokratis serta bertanggungg jawab.

          Perilaku menurut Sujiono (2009) merupakan bagian dari budi pekerti yang dapat membentuk sikap terhadap manusia, Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan alam sekitar. Pendapat senada juga dikemukakan dalam Teori Behaviors (2009) bahwa seluruh perilaku umat manusia dapat dijelaskan atau diamati sebagai respon yang terbentuk dari berbagai stimulus yang pernah diterimanya dari lingkungannya. Sunardi (2014) berpendapat bahwa perilaku merupakan sinonim dari aktivitas, reaksi, aksi, kinerja, atau reaksi. Secara umum perilaku adalah apa yang dilakukan dan dikatakan seseorang remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, dimana masa transisi diperlukan oleh seseorang remaja untuk dapat mempelajari dan bertanggung jawab akan segala permasalahannya (Putri, 2018). Terutama dalam sosialisasi remaja, baik itu di sekolah, lingkungan tempat tinggal dan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman etika sopan santun yang ada di sekolah semakin luntur terutama di sekolah menengah. Cukup banyak yang terjadi dalam lingkup di sekolah, diantaranya adalah etika sopan santun siswa dalam berbicara dengan guru maupun teman sebaya yang kurang sopan, dalam berpakaian tidak sesuai dengan ketentuan sekolah.

            Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan disekolah harus dapat membentuk karakter yang lebih baik. Mengacu dengan tujuan pendidikan nasional yang telah di jabarkan sebelumnya, seharusnya nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan menjadi dasar sebagai kurikulum sekolah yang bertujuan mengembangkan secara berkesinambungan dan sistematis karakter siswa. Implementasi pendidikan hendaknya berbasiskan kepada seperangkat nilai sebagai panduan antara kesinambungan ranah kognitif, afektif dan psikomotor (Noor,2012).

            Nilai-nilai karakter yang sebaiknya di miliki oleh siswa salah satunya yaitu sikap sopan santun, hal ini penting untuk seorang siswa agar dapat berinteraksi di lingkungan sekolah terhadap guru, karyawan sekolah dan sesama siswa. Mustari (2014) menjelaskan bahwa santun adalah sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang sedangkan Mulyani (2016) menjelaskan kesantunan berbahasa adalah bentuk kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa pada saat seseorang berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. perilaku sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntunan pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Sopan santun merupakan istilah bahasa Jawa yang dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai- nilai menghormati, menghargai, dan berakhlak mulia. Sopan santun bisa dianggap sebagai norma tidak tertulis yang mengatur bagaimana seharusnya kita bersikap atau berperilaku (Suryani, 2017). Kemudian Suwarna dan Suharti (2014) menyampaikan bahwa perilaku sopan juga disebut etiket atau perilaku baik bertata krama kepada orang lain.

Sopan santun merupakan aturan dalam masyarakat yang secara turun temurun dapat memberikan manfaat untuk menjalin pergaulan yang akrab dengan sesama manusia, saling mengerti dan saling menghormati (Yulianti et al., 2018). Beberapa indikator yang mencerminkan perilaku sopan santun yaitu menghormati orang yang lebih tua, menggunakan tangan kanan ketika menerima sesuatu, berkata yang baik (tidak kasar), tidak meludah di sembarang tempat, ketika berjumpa dengan guru memberikan salam, dan juga menghargai jika terjadi perbedaan pendapat dengan orang lain (Wahyudi & Arsana, 2014).

            Kenyataan yang terjadi dilingkungan madrasah berbeda dengan harapan tujuan dari pendidikan. Fenomena terkait rendahnya pendidikan karakter terutama perilaku sopan santun siswa kepada guru terjadi di MTs N 2 Pelalawan ditunjukkan dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa pada tanggal 8 September 2022 yang menyatakan bahwa banyak dari teman-teman masih sering berkata kotor didepan para guru, serta masih banyak siswa yang membantah perintah guru. Komunikasi antara siswa dengan guru juga menunjukkan rendahnya sikap sopan santun, misalnya siswa tidak menggunakan bahasa yang baik saat berbicara dengan gurunya. Saat berbicara dengan guru sering kali siswa menggunakan bahasa daerah asalnya yang tidak dimengerti oleh guru. Siswa juga terkadang tidak bisa membedakan lawan bicara, berbicara dengan guru seperti berbicara dengan teman sebayanya.

     Hal yang sama juga diperoleh dari wawancara terhadap salah satu siswa kelas VII pada tanggal 11 September 2022, siswa tersebut menyatakan bahwa siswa yang sering tidak berperilaku sopan terhadap guru adalah siswa laki-laki. Siswa berlaku tidak sopan terhadap guru pada saat ditegur oleh guru yaitu dengan berbicara kotor atau menggerutu. Dari cara berpakaian, banyak siswa yang kurang sopan yaitu biasanya siswa tidak memasukkan baju seragam. Selain itu saat berinteraksi dengan guru, banyak siswa yang acuh atau tidak menegur guru padahal siswa tersebut jalan di depan guru dan banyak juga siswa yang ketika berbicara menyinnggung perasaan guru.

            Peristiwa serupa juga terjadi pada siswa kelas VIII masih ada siswa yang menunjukkan perilaku kurangnya nilai sopan santun kepada guru serta teman sebayanya diantaranya banyak siswa yang berbicara keras dan lantang kepada guru.

     Permasalahan tersebut haruslah segera di tangani dengan berbagai upaya dan peran dari guru di lingkungan sekolah. Guru bertanggung jawab bukan saja pada aspek kognitif, tetapi juga aspek perkembangan sosial, maka hal ini menjadi perhatian dengan mencarikan solusi pemecahannya melalui layanan bimbingan. Menurut Noor (2012) tentang peranan guru disekolah, keluarga, masyarakat dipandang dari segi diri pribadinya (self-oriented), seorang guru harus berperan sebagai: (1). Pekerja sosial, yaitu seseorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat, (2). Pelajar dan ilmuan, yaitu seseorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangan penguasaan keilmuannya, (3). Orang tua, artiya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah, (4). Model Keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus di contoh oleh peserta didik, (5). Pemberi rasa aman dan kasih sayang bagi setiap peserta didik, peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya

Menanamkan karakter pada siswa tidak terlepas dari Ajaran Agama Islam sebagai sumber nilai karakter harus dijadikan landasan oleh orangtua dalam membina karakter anak karena agama merupakan pedoman hidup serta memberikan landasan yang kuat bagi diri setiap anak. Pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan orangtua sehari-hari seperti shalat, membaca al-Qur’an, menjalankan puasa serta berperilaku baik merupakan bagian penting dalam pembentukan dan pembinaan karakter anak (Amirullah, 2015). Menurut Stark dan Glock (dalam Mustari, 2014), ada lima unsur yang dapat mengembangkan manusia menjadi religius. Yaitu, keyakinan agama, ibadah, pengetahuan agama, pengalaman agama, dan konsekuensi. Dari lima unsur tersebut, dimensi pengalaman (the consequential dimension) yang dapat membahas tentang bagaimana seseorang mampu mengimplikasikan ajaran agamanya sehingga mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya.

Upaya yang dilakukan guru akan dapat lebih maksimal jika dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas memiliki keterkaitkan dengan pendidikan karakter. Guru dan perancang pembelajaran dalam mengembangkan strategi pembelajaran moral semestinya lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran moral, baik didalam lingkungan keluarga, kelompok sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas (Zuriyah, 2007). Meskipun istem pendidikan sekarang tidak memberikan kesempatan guru untuk secara khusus mengajar tentang pendidikan karakter akan tetapi dapat disisipkan pada Mata Pelajaran Agama dan PPKn, sesuai dengan kebijakan dan pengarahan mendiknas pada rapat koordinasi dan konsultasi direktorat pendidikan dasar dan mengah pendidikan budi pekerti akan diajarkan tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan disisipkan pada mata pelajaran Agama serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Adawiah, dkk, 2016).

Bimbingan individu dan kelompok dapat menjadi salah satu bentuk upaya guru dalam memberikan bimbingan kaitannya dengan karakter, hal ini karena proses konseling adalah membantu klien agar menyadari keberadaannya dan potensinya. Menurut Soedarmadji (2012) proses konseling individual meliputi tiga tahap yaitu: tahap pertama, konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka. Pada tahap kedua, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas. Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Sedangkan bimbingan kelompok dapat berupa penyampaian informasi

ataupun aktivitas kelompok membahas masalah-masalah pendidikan, pekerjaan, peribadi dan sosial. Selanjutnya dijelaskan pula aktivitas kelompok diarahkan untuk memperbaiki dan mengembangkan pemahaman diri dan pemahaman lingkungan, penyesuaian diri, serta pengembangan diri. Bimbingan melalui kelompok lebih efektif karena selain peran individu lebih aktif, juga memungkinkan terjadinya pertukaran pemikiran, pengalaman, rencana dan penyelesaian masalah khususnya permasalahan rendahnya perilaku sopan santun pada siswa (Suryani,2014).

Hukuman menjadi salah satu cara efektrif yang diberlakukan sekolah untuk dapat mendidik siswa menjadi disiplin dan taat dalam aturan sekolah. Menurut Sudiono, dkk (2007) mengemukakan beberapa pengertian hukuman, menurut pemahaman para ahli mengenai hukuman adalah sebagai berikut: 1) E. Utrecht berpendapat bahwa hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib suatu masyarakat; 2) S.M. Amin mendefinisikan hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi; 3) J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mendefinisikan hukum sebagai peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap perturan- peraturan akan mengakibatkan diambilnya tindakan hukum tertentu; dan 4) Frans Magnis Suseno mendefinisikan hukum sebagai sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat.

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut Kolberg ( dalam Ikrommullah, 2015) dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap. Dalam tingkat pra konvensional ini terdapat 2 tahapan, yaitu Orientasi hukuman kepatuhan dan orientasi relativis instrumental. Tahap pertama orientasi hukuman dan kepatuhan, yang pada umumnya pada tahap ini akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

Kerjasama pihak sekolah dan orangtua menajdi penting untuk menjadikan anak-anak berkarakter baik khususnya pada sikap sopan santun. “Anak adalah peniru yang baik”. Seharusnya disadari oleh para orangtua, sehingga mereka bisa lebih menjaga sikap dan tindakannya ketika berada atau bergaul dengan anak-anaknya. Secara psikologis, anak memang sangat membutuhkan panutan atau contoh dalam keluarga. Sehingga dengan contoh tersebut anak dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya jika anak tidak memperoleh model atau perilaku yang mencerminkan akhlakul kharimah, tentu mereka pun akan melakukan hal-hal yang kurang baik. (Amirullah,2015).

Orang tua memiliki peran utama dalam keluarga,sebagai pendidik pertama bagi anak- anaknya. Dikatakanpendidik pertama karena pendidikan dari keluarga (orang tua) mempunyai pengaruh besar bagikehidupan anak dikemudian hari,karena perannya sangat penting maka orangtua harus benar-benar menyadarinya sehinggamereka dapat memperankannya sebagaimana mestinya. Orang tua juga sangat berperan bagiperkembangan aspek kognitif, emosional, danmental spiritual beribadah anak. Orang tua haruslah menjadi contoh bagi anak-anaknya. Karena orang tua merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku, sopan dan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, karena keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya anak. Oleh sebab itu, orang tua haruslah menjadi contoh bagi anak-anaknya karena orang tua merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku, sopan, dan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak. Semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, karena keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya anak (Santi dan Sani, 2017).

Dari permasalahan diatas, maka muncul rumusan masalahnnya sebagai berikut : “ Bagaimana upaya guru meningkatkan sikap sopan santun siswa disekolah ?”Berdasarkan uraian dan fenomena diatas, tujuan dalam peenlitian ini yaitu untuk mengetahui upaya guru meningkatkan perilaku sopan santun siswa dimadrasah..

METODE PENELITIAN

Kriteria informan dalam penelitian ini adalah siswa yang memiliki sikap sopan santun yang rendah ditunjukkan dari skor pelanggaran tata tertib di sekolah. Guru yang memiliki kapasistas dalam membina siswa yang melakukan pelanggaran sopan santun ringan dan berat di sekolah. Pengambilan sampel dengan prosedur purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara dengan jenis wawancara semi-terstruktur. Pelaksanaan wawancara dilakukan secara langsung dengan menggunakan panduan wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya. Selanjutnya melakukan proses penulisan verbatim, kemudian membuat analisis data. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data tematik dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori menjabarkan kedalam unit-unit, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah di lakukan, maka  pembahasan mengenai upaya guru dalam meningkatkan sikap sopan santun siswa di sekolah sebagai berikut:

1.        PENANAMAN AGAMA

Peningkatan sikap sopan santun siswa di sekolah di awali dengan upaya penanaman pendidikan keagamaan oleh guru. Dengan penanaman agama yang kuat, maka siswa akan lebih mudah menerima bimbingan dari guru. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“Ya, agar anak itu terbiasa dengan lebih teratur. Lebih apa ya, emm lebih mengarah ke agamanya sendiri-sendiri. Jadi jika agamanya sudah teratur jadi nanti di bimbing lebih gampang lebih enak (iteer: jadi penanaman agama terlebih dahulu, agar nanti efeknya ) he’em he’em efeknya lebih enak di bimbing.” (W/D, 80-90).

Penanaman agama juga di berikan kepada siswa dengan memberi kesempatan untuk membaca ayat suci Al-Qur’an selama 15-20 menit bergantian dan didengarkan langsung oleh teman-temannya pada setiap pergantian jam sebelum pembelajaran di mulai. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

iya cara yang dilakukan para guru disini setiap mau melakukan pelajaran baru atau pergantian jam tu biasanya anakanak akan membaca ayat suci Al-Quran kemudian teman-teman yang lain mendengarkan mungkin dari setiap hari didengarkan anak-anak sedikit mau berubah dan perilakunya tidak bandel-bandel bangetlah gitu .”(W/M, 35-35).

Dalam proses pembinaan nilai-nilai agama atau karakter religius anak yakni untuk membentuk kepribadiannya dapat dimulai sejak lahir sampai dewasa. Pada intinya Pendidikan Agama Islam dalam keluarga itu mencakup tiga hal yaitu: pendidikan akidah/keimanan contohnya ketika lahir anak diperkenalkan dengan kalimat thoyyibah, kemudian setelah mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak ditanamkan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan keimanan, sehingga anak meyakini adanya Allah (ma’rifatullah). Allah SWT mencintai sikap santun sebagaimana tertuang dalam hadis berikut ini:

“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. bersabda kepada Al Asyaj Al ‘Ashri: Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sikap yang dicintai oleh Allah; yaitu sifat santun dan malu.” (H.R. Ibnu Majah)

Sopan santun menjadi sangat penting dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kita akan dihargai dan dihormati orang lain jika menunjukkan sikap sopan santun. Orang lain pun merasa nyaman dengan kehadiran kita. Sebaliknya, jika berperilaku tidak sopan, maka orang lain tak akan menghargai dan menghormati kita. Orang yang memiliki sopan santun berarti mampu menempatkan dirinya dengan tepat dalam berbagai keadaan. Sopan santun dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja, karena sopan santun merupakan perwujudan cara kita dalam bersikap yang terbaik. Penerapan sopan santun bisa dilakukan melalui pendidikan ibadah contohnya ketika anak berusia tujuh tahun diperintah sholat, puasa dan lain-lain dan pendidikan akhlakul karimah contohnya anak ditanamkan sifat-sifat yang baik seperti kejujuran, keadilan, sabar dan lain-lain dibimbing mengenai nilai-nilai moral seperti cara bertutur yang baik, berpakai yang baik, bergaul dengan baik dan lain-lain. Dengan adanya pendidikan tersebut pada anak di lingkungan keluarga itu akan membentuk kepribadian yang baik bagi anak yaitu menjadi manusia yang beriman, bertakwa dan berahlakul karimah, meiliki hubungan yang baik pada allah (hablumminallah) dan memiliki hubungan yang baik dengan manusia (hablumminannas). Selanjutnya cara guru menyampaikan nilai karakter religius pada anak tersebut tidak selalu melalui cerita menggunakan bahasa daerah atau indonesia akan tetapi lebih banyak kepada pembiasaan, misalnya sebelum masuk ruangan salam, cium tangan dan shalat dhuha, selanjutnya ketika belajar agama menggunakan media pembelajaran berupa gambar atau sesuatu yang menunjukkan karakter religiusnya. (Siswanto, 2021)

2.      PROSES BELAJAR MENGAJAR

Upaya dalam meningkatakan sikap sopan santun siswa di sekolah tidak terlepas dari strategi yang digunakan oleh guru dalam memberikan pembinaan maupun pembelajaran di kelas dan di luar kelas. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“Otomatis jadi setiap KBM itu selalu di (iteer: heem) diselipkan pendidikan karakter (iteer: oh begitu) jadi misalnya kan dalam pelajaran saya dalam pengerjaannya kan secara kelompok (iteer: heem) dengan perkelompok itu bapak ibu sudah membuat progres kolomkolom gitu mana yang anak yang rajin mana yang tidak yang rajin yang sering bertanya itu kan dilihat (iteer : heem iya) penilaiannya itu secara istilahnya apa ya mbak dalam BK itu apa misalnya dalam daftar nilainya itu pakek (iteer:heem oh) penilainnya secara kerjasamanya kurang sama temen kelompoknya itu nggak bagus gitu.” (W/E, 80-88).

Strategi dalam pemberian pembelajaran juga menggunakan metode belajar kelompok hal ini di maksudkan untuk menumbuhkan rasa kerjasama dan toleransi pada masing-masing siswa. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“Sebenarnya pas waktu pelajaran dan mengajar itu bisa di selip-selipkan itu. Iya itu sebenarnya juga tidak perlu ada jam, karena semuanya sudah menyangkut pendidikan karakter. Misalnya mengajar ppkn itu kan sudah menyangkut, jadi sambil menenarangkan juga sampil menerapkan karakternya tersebut bisa misal contoh kayak dikelas kalau ingin menjawab pertanyaan itu jangan rebutan mau bergantian .” (W/Y,95-105).

Penerapan tentang karakter dapat diberikan guru melalui berbagai metode pembelajaran di kelas maupun dengan menyisipkan materi karakter di mata pelajaran yang di peroleh siswa. Seperti yang di jelaskan oleh Zuriah (2007) bahwa guru dan perancang pembelajaran dalam mengembangkan strategi pembelajaran moral semestinya lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran moral, baik didalam lingkungan keluarga, kelompok sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas. Lebih lanjut di jelaskan oleh Adawiah, dkk (2016) bahwa sistem pendidikan sekarang tidak memberikan kesempatan guru untuk secara khusus mengajar tentang pendidikan karakter melainkan disisipkan pada Mata Pelajaran Agama dan PPKn, sesuai dengan kebijakan dan pengarahan mendiknas pada rapat koordinasi dan konsultasi direktorat pendidikan dasar dan mengah pendidikan budi pekerti akan diajarkan tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan disisipkan pada mata pelajaran Agama serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

3.      HUKUMAN

Terkait dengan peraturan yang dibuat oleh sekolah dalam hal sopan santun maka pemberian hukuman seorang siswa melakukan pelanggaran yang tidak dapat mematuhi kebijakan sekolah. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

Ya kalau, soal untuk berkelahi itu biasanya langsung kita bina kita kasih dan beri pengarahan biasanya hukuman yang diberikan tu kebanyakn kayak disuruh membersihkan kamar mandi dan lingkungan madrasah yang anak anak ketika dilihatin sama temen-temennya kan malu jadi seperti ada efek jeranya gitu saa mereka. Disini tu kasus yang paling dan sering terjadi itu ketahuan merokok yang sampai guru guru kayak capek udah berulang kali diberi tahu masih aja membawa rokok tpi sekarang mulai agak berkurang sih kasus anak anak yang merokok” (W/Y195-210)

Menurut Sudiono, dkk (2007:29) mengemukakan beberapa pengertian hukum, menurut pemahaman para ahli mengenai hukum adalah sebagai berikut: 1) E. Utrecht berpendapat bahwa hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, berisi perintah- perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib suatu masyarakat; 2) S.M. Amin mendefinisikan hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi; 3) J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mendefinisikan hukum sebagai peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap perturan-peraturan akan mengakibatkan diambilnya tindakan hukum tertentu; dan 4) Frans Magnis Suseno mendefinisikan hukum sebagai sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. Hukuman, yang disebut juga Jenis kontrol negatif, sering digunakan di kelas oleh guru karena itu adalah perbaikan dan bisabekerja dengan baik. Hukuman, sebagai tindakan terakhir dan paling serius dan formal yang bisa digunakan oleh guru, efektif dalam mengendalikan kelas bila digunakan dengan tepat. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut:

“Kalau disini sudah di shock terapi mbak, tentunya seperti kalau skornya sudah 100, itu sudah bener-bener sudah disuruh keluar, bukannya kita yang mengeluarkan, tapi memang peraturan disini seperti itu. Jadi kalau skornya sudah 75, kalau sudah tanda tangan materai, bematerai, kalau mencapai 100, Terus setelah anak itu mencapai 100, orang tua dipanggil, ini anakmu sudah mencapai 100 gitu ya, silahkan oiya bu mereka cari sekolah bener-bener keluar tapi biasanya sebelum mencapai 100 tu kita memberi apa mewanti-wanti anak kayak kamu skor kamu segini lagi loh jadi siapsiap ya kita keluarkan jadi kayak kita ancam jadi anak takut.” (W/M 295-305)

Kolberg dalam tingkat pra konvensional ini terdapat 2 tahapan, yaitu Orientasi hukuman kepatuhan dan Orientasi relativis instrumental. Tahap pertama Orientasi hukuman dan kepatuhan, yang pada umumnya pada tahap ini Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas, (Ikrommullah, 2015)

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ratnasari (2015) bahwa pemberian punishment/hukuman diberikan kepada siswa yang melanggar tata tertib sekolah, misalnya guru memberikan peringatan dan pembinaan ketika ada anak yang memakai seragam sekolah tidak dimasukkan dan tidak sesuai dengan ketentuan sekolah. Selain itu, dilakukan panggilan orang tua wali murid dari siswa yang bermasalah. Ketika ada siswa yang sering tidak masuk sekolah tanpa keterangan dan membuat surat izin palsu, maka orang tua wali murid dari siswa yang bermasalah tersebut dipanggil untuk datang ke sekolah menemui guru agar orang tua wali murid mengetahui kesalahan siswa dan bisa membantu pihak sekolah dalam memberikan pembinaan kepada siswa.

4.    BIMBINGAN INDIVIDU DAN KELOMPOK

Penyebab kurangnya perilaku sopan santun siswa dikarenakan kurang terkontrolnya pengawasan dari guru. Oleh karena itu bimbingan individu dan bimbingan kelompok menjadi salah satu upaya bagi guru untuk meningkatkan perilaku sopan santun disekolah. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“ya ini mbak saya kalau kan saya wali kelas ya jadi benar benar saya sempatkan untuk hanya sekedar ngasih tau ke anak jangan punya masalah ya jangan buat gara gara ya atau kadang ada dua anak yang saya panggil saya beri nasehat kalau ada masalah ceritain aja begitu” (W/E 238-248)

Menurut Soedarmadji (2012) proses konseling humanistik meliputi tiga tahap yaitu: tahap pertama, konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka. Pada tahap kedua, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas. Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggung jawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya. Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“Tapi untuk melaksanakan mereka ada yang bisa, ada yang enggak. Kalau dikasih tahu kadang juga nggak mau mendegarkan . kadang ada yang mau ya susah susah gampang apalagi anak yang terkenal karena kenakalannya misal ngerokok tapi anaknya tu pendiam kan susah mau ditanyain benar benar sampai kadang pengen marah dulu baru anak tu mau ngasih tau, tapi saya pokoknyaa sering nanya anak anak kamu kenapa gini kenapa gtu, mereka tu sebenarnya ya kayak mau maen aja bercanda bercanda dengan mengolok-olok nama orang tua temennya tapi kan itu nggak boleh dosa (W/M 582-590).

5.      KETERLIBATAN ORANG TUA

Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak dalam pembentukan sikap sopan santun. Sehingga orang tua memiliki peran yang sangat penting bagi anak- anaknya.Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut :

“Ternyata memang benar lingkungan lingkungan itu bukan lingkungan sekolah karakter anak terbentuk tapi karater dirumah dan dilingkungannya. Anak perempuan dia berjilbab, dia berbunyinya jelek ABC keluar semua binatang kadang dikeluarkan,tapi ternyata setelah orangnya dipanggil, orang tuanya dipanggil, orang tuanya mengakui kalau dia itu kalau bertengkar dengan istri, suami,itu juga sering mengeluarkan kata kata kasar dan anak nya itu pun teringat dengan kata-katanya dan menjadi dengan orang lain dia kalau di kasih apa sakit hati saja dia langsung marah dan berkata kasar. Terbentuk anak kan dari rumah, bukan dari sekolah. Disekolah berapa menit to, sekolah tidak bisa disalahkan banget. Yang ada membentuk karakter itu ada dirumah itu. Orang tua paling penting,” (W/M 184-197)

“Anak adalah peniru yang baik”. Seharusnya disadari oleh para orangtua, sehingga mereka bisa lebih menjaga sikap dan tindakannya ketika berada atau bergaul dengan anak-anaknya. Secara psikologis, anak memang sangat membutuhkan panutan atau contoh dalam keluarga. Sehingga dengan contoh tersebut anak dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya jika anak tidak memperoleh model atau perilaku yang mencerminkan akhlak kharimah, tentu mereka pun akan melakukan hal-hal yang kurang baik. (Amirullah, 2015).Seperti yang di sampaikan dalam kutipan wawancara berikut:

“Jelas ada, kendalanya karena guru hanya bertemu beberapa jam di sekolah. Padahal pendidikan pertama dan utama adalah keluarga, padahal kalau keluarganya sibuk bagaimana membentuk perilaku yang lebih bagus dari yang sebelumnya gitu.kadang malah kayak orang tua kebanyak acuh sama sifat anaknya ” (W/N 159-162)

Orang tua memiliki peran utama dalam keluarga,sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Dikatakan pendidik pertama karena pendidikan dari keluarga (orang tua) mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan anak dikemudian hari, karena perannya sangat penting maka orangtua harus benar-benar menyadarinya sehingga mereka dapat memperankannya sebagaimana mestinya. (Santi dan Sani, 2017).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut: Bahwa sopan santun di MTs N 2 Pelalawan belum sepenuhnya baik sehingga perlu adanya binaan dari semua guru agar anak anak dapat terbina dengan baik Sebagian siswa masih melakukan pelanggaran seperti merokok di sekolah, berkata kasar dengan teman- temannya atau mengolok-olok nama orang tua. Selain itu kesopanan yang terlihat dari pihak guru dan kepala sekolah, beliau memberikan contoh yang baik seperti halnya dalam cara berpakaian yang rapi, berbahasa dengan baik dan sopan sehingga siswa mampu      menerapkan dengan guru lainnya.

Hasil Penelitian menjelaskan bahwa upaya yang digunakan oleh dalam meningkatkan perilaku sopan santun siswa di MTs N 2 Pelalawan menggunakan memberikan penanaman agama, proses belajar mengajar, hukuman, memberikan konseling secara individu dan kelompok bagi siswa yang melanggar, serta melibatkan orang tua siswa untuk saling bekerja sama dalam meningkatkan sikap sopan santun siswa.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ikrommullah, A. (2015). Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan , 77-87.

Mulyani. (2016). Realisasi Pendidikan Karakter Melalui Kesantunan Berbahasa Guru Dalam Pembelajaran Di Kelas. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper

ke-2 , 1-7.

  Mustari, M. (2014). Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

  Noor, R. M. (2012). Mengembangkan Karakter Anak Secara Efektif di Sekolah dan Dirumah . Yogyakarta: PEDAGOGIA.

  Nurihsan, A. J. (2006). Bimbingan Dan Konseling. Bandung: Refika.Aditama.

  Putri, A. R. (2022). Probematika Guru dalam Program Pembiasaan Karakter Sopan-
Santun Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah UPT P2M STKIP Siliwangi, 33-38

  Santi, A. U., & Sani, W. A. (2017). Pengaruh Peran Orang Tua Terhadap Sikap Keberagaman Anak di Lingkungan Keluarga. Jurnal Kajian Penelitian dan Pembelajaran , 77-84.

  Suryani, L. (2017). Upaya Meningkatkan Sopan Santun Berbicara dengan Teman Sebaya Melalui Konseling Kelompok. e-jurnalmitrapendidikan , 112-124.

  Suwarna, & Suharti. (2014). Pendidikan Karakter Hormat. Jurnal Pendidikan Karakter , 137-147. Tahun IV, Nomor 2.

   Zuriah, N. (2007). Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
perubahan.
Jakarta: Bumi Aksara.

1 Komentar

admin, Selasa, 30 Jan 2024

Semangat dalam berkarya👍🏻👍🏻

Balas

TINGGALKAN KOMENTAR